BAGAIMANA MENAFSIR ALKITAB
Penafsiran firman Tuhan yang tepat dan benar merupakan landasan orang percaya. Setiapkali kita membaca Alkitab, pasti akan bertemu dengan proses penafsiran mengenai makna ayat-ayat yang dibaca. Mencari makna atau arti yang sesungguhnya dari firman Tuhan, harus dilakukan oleh setiap orang yang rindu mengenal Tuhan, mau menjadi pengkotbah, hendak memimpin sharing atau pendalaman Alkitab dan aktivitas rohani lainnya.
Dalam lingkungan ilmu teologi, proses penafsiran Alkitab disebut sebagai ilmu hermeneutika. Kata hermeneutika berasal dari kata Yunani Hermeneuo, yang berarti menginterpretasikan, menjelaskan atau menterjemahkan. Sebuah definisi yang disepakati para ahli adalah, menunjuk seluruh proses penafsiran yang membawa pembaca modern mengerti akan berita yang disampaikan oleh Alkitab. Sebagai ilmu, hermeneutik menggunakan cara-cara ilmiah dalam mencari arti sesungguhnya dari Alkitab. Prinsip yang dipakai hermeneutik merupakan suatu sistem yang masuk akal, dapat diuji dan dipertahankan.
Kegunaan Hermeneutik:
v Hermeneutik penting didalam keperluan untuk memahami firman Tuhan dengan benar.
v Hermeneutik berguna untuk menyusun kotbah yang baik dan benar.
v Hermenutik berguna di dalam menyusun doktrin atau ajaran gereja.
Dasar Menafsir Alkitab:
Sebelum menafsirkan Alkitab, setiap orang harus mengerti lebih dulu beberapa kebenaran mengenai Alkitab. Dengan mengerti akan kebenaran-kebenaran ini maka setiap orang akan dapat menjadi seorang penafsir Alkitab yang baik, kompeten, benar dan tidak sesat di dalam menafsir. Beberapa kebenaran yang mutlak harus kita pahami, mengerti dan imani adalah sebagai berikut:
1. Alkitab adalah firman Tuhan.
Alkitab merupakan firman Tuhan. Hal ini harus dimengerti dan menjadi sikap iman kita. Mengapa? Sebab ada beberapa pandangan sesat yang tidak sesuai dengan iman Kristen bertalian dengan hal ini. Pandangan-pandangan itu diantaranya menyebut:
Ø Alkitab bukan firman Tuhan
Ø Alkitab berisi firman Tuhan
Ø Alkitab mengandung firman Tuhan
2. Alkitab adalah kitab yang diwahyukan oleh Allah.
Alkitab ditulis sejak jaman Musa sampai masa rasul-rasul Kristus. Masa penulisannya sangatlah panjang, kira-kira 1500 tahun. Para penulisnya merupakan orang-orang yang berasal dari latar belakang yang berbeda-beda. Mereka menulis atas inspirasi dan ilham dari Roh Kudus (Keluaran 34:27; Yeremia 30:1-2; Habakuk 2:2; I Korintus 14:37; Wahyu 1:11; II Timotius 3:16).
Alkitab 100% benar. Ia tidak salah dalam hal sejarah, fakta, angka, ajaran, etika, teologi dan sebagainya. Sebagai ilham Allah, kata-kata seperti, “Allah berfirman, maka firman Tuhan datang kepadaku, bunyinya…” dan sejenisnya tercatat ada lebih dari 3800 kali.
3. Alkitab terdiri dari 66 buku.
Alkitab hanya terdiri dari 66 buku, yang terdiri dari 39 kitab-kitab Perjanjian Lama dan 27 kitab-kitab Perjanjian Baru. Alkitab disebut sebagai kitab kanonikal.
- Pandangan gereja Roma Katolik & Ortodoks Yunani
Gereja Roma Katolik percaya bahwa gerejalah yang menentukan Alkitab dan bukan Alkitab yang menentukan gereja, sehingga gereja Roma Katolik boleh menerima tambahan kitab-kitab, yang disebut sebagai Apokrifa. Keputusan itu diambil melalui konsili Vatikan (1870). Kitab-kitab apokrifa itu oleh gereja Roma Katolik disebut sebagai “deutero-kanonika”. Gereja Ortodoks Yunani juga percaya bahwa apokrifa merupakan kitab kanonikal.
- Pandangan gereja-gereja Protestan
Kalangan gereja protestan mempunyai dua pandangan mengenai kitab-kitab apokrifa. Golongan pertama berpendapat bahwa buku-buku itu tidak diilhamkan, tetapi adalah tulisan yang historis. Ia dapat membantu pembaca modern lebih mengenal keadaan zaman itu. Gereja Anglikan termasuk dalam golongan ini.
Golongan kedua berpendirian kitab-kitab itu tidak diilhamkan, nilainya tidak melebihi buku-buku biasa yang lain. Mereka berpendapat apokrifa merupakan kitab-kitab “sampah”.
Belakangan ini, banyak sarjana Alkitab mengambil posisi yang lebih terbuka terhadap buku-buku apokrifa. Ia tidak ditolak sebagai buku yang tidak baik untuk dibaca, tetapi diselidiki sebagai suatu sumber kesenian, literatur, sejarah dan agama zaman itu.
Prinsip & Metode Menafsir Alkitab:
I. Analisa Teks
Analisa teks adalah langkah pertama dari penafsiran Alkitab. Sebab sebelum seorang menafsir bagian Alkitab, ia terlebih dulu harus yakin bahwa naskah atau teks ayat yang dibacanya merupakan Firman Tuhan. Dalam konteks kita, Alkitab yang diterbitkan LAI merupakan terjemahan yang baik dan dapat dipercaya. Apabila ingin memperkaya penafsiran, ada beberapa Alkitab versi bahasa Inggris yang bagus dan dapat dijadikan referensi. Diantaranya versi New International Version (NIV), King James Version (KJV) dan New King James Version (NKJV).
II. Analisa Isi Alkitab
Suatu kekurangan yang sering ditemukan di antara orang-orang percaya saat menafsir Alkitab adalah kurangnya penguasaan akan isi Alkitab. Seseorang baru akan dapat menafsir dengan tepat bila ia sudah mempersiapkan dirinya membaca Alkitab dengan teratur dan terencana.
Cara menafsir dari Isi Alkitab:
- Bacalah bagian Alkitab yang akan ditafsir dengan penuh konsentrasi. Baca beberapa kali. Bahkan bila perlu buatlah suatu garis besar atau diagram dari kitab, pasal atau bagian yang akan ditafsir. Dengan demikian ia akan sungguh menguasai bagian tersebut.
- Selalu mengajukan pertanyaan, seperti apa, kapan, siapa, siapa, mengapa, bagaimana (5 W 1 H) dan lainnya.
- Coba cari kata atau pokok penting dari kitab, pasal atau bagian yang ingin ditafsir. Hafalkanlah ayat-ayat yang penting.
- Perhatikan hal-hal kecil yang biasanya lalai diperhatikan. Coba menyelami perasaan dari tokoh-tokoh di dalam Alkitab atau membayangkan keadaan dan situasi waktu itu. Carilah dimensi baru dalam pembacaan Alkitab.
- Biarlah Alkitab sendiri yang berbicara. Bila Alkitab berbicara keras tentang satu hal, maka kita juga berbicara dengan keras. Bila Alkitab tidak berbicara, maka kita juga tidak berbicara. Hal ini merupakan prinsip yang harus dipegang setiap orang yang ingin menafsir Alkitab.
- Memperhatikan kesejajaran/paralelisme kepada ayat-ayat atau kisah-kisah yang berhubungan atau sejajar. Misalnya membandingkan cerita penyaliban Yesus yang terdapat di dalam kitab-kitab Injil. Hal ini berguna untuk mendapatkan hasil penafsiran yang komplit dan baik.
- Perhatikan tujuan penulisan kitab tersebut, latar belakang budaya, tempat dan penulisnya. Misalnya kita ingin menafsir kitab I Korintus, maka sangat dianjurkan untuk membaca buku-buku mengenai latar belakang kota-kota di Perjanjian Baru. Contoh lain, berkaitan dengan pemakaian kerudung bagi wanita seperti yang terdapat dalam tulisan rasul Paulus. Ternyata dalam analisa latar belakang budaya, agama dan kota alamat surat rasul Paulus tersebut, disebutkan bahwa para perempuan pelacur/nakal disana biasanya berdandan genit dan tidak berkerudung. Untuk itulah ia meminta wanita Kristen disana memakai kerudung, agar mereka membedakan dirinya.
III. Analisa Sejarah dan Latar Belakang
Analisa ini mencakup dimensi yang luas. Yakni latar belakang dari apa yang ditulis dalam kitab, tempat/daerah dimana kitab tersebut ditulis, tempat/daerah pembaca pertama. Dalam analisa ini terdapat beberapa hal penting:
Ø Unsur-unsur Geografis
Dalam pengumpulan data geografis, seorang penafsir dapat memperoleh kesempatan yang lebih luas untuk mengerti kitab yang akan ditafsir. Beberapa catatan: berapa jauh jarak dari Mesir ke tanah perjanjian Palestina? Berapa jarak yang ditempuh nabi Elia dari gunung Karmel lewat jalan yang menuju Yizreel sampai Bersyeba? (I Raja-raja 18-19).
Ø Unsur Waktu
Unsur waktu merupakan salah satu unsur yang penting dan perlu diperhatikan penafsir. Kitab Daniel pasal 1-6 sebenarnya mencakup masa tiga raja yang cukup lama. Perhatikan unsur waktu ini dari surat-surat rasul Paulus:
1. I Korintus 15:9, “Karena aku adalah yang paling hina dari semua rasul…”
2. Efesus 3:8, “Kepadaku, yang paling hina diantara segala orang kudus…”
3. I Timotius 1:15, “…Kristus Yesus datang ke dunia untuk menyelamatkan orang berdosa dan diantara mereka akulah yang paling berdosa.”
Rupanya pengenalan Paulus akan Allah dari hari ke hari semakin dalam dan membuatnya semakin rendah hati.
Ø Unsur Politik & Ekonomi
Unsur ini perlu diperhatikan di dalam menafsir. Terutama dalam menafsir keempat kitab Injil. Karena situasi sosial ekonomi pada masa itu, bangsa Yahudi sedang berada dalam penjajahan bangsa Romawi. Tuhan Yesus hidup dalam masa penjajahan mereka.
IV. Analisa Sastra
Analisa sastra menafsir kitab-kitab dari segi kepenulisan dan garis besarnya. Dalam Alkitab terdapat berbagai macam gaya sastra, mulai dari gaya bahasa yang dikenal luas, seperti catatan sejarah, pidato, peribahasa, riwayat, kotbah, perumpamaan hingga gaya bahasa yang kurang diketahui, misalnya apokaliptik, nubuat, salam, dialog, syair, nyanyian, kredo, liturgi dan lainnya. Sebagai contoh: Kitab Kidung Agung harus dipahami sebagai syair-syair yang menggambarkan hubungan mesra Allah dengan umat-Nya (orang Israel). Kitab ini sukar bila ditafsir ayat per ayat.
Ada kesalahan yang sering dibuat orang yaitu menafsirkan perumpamaan secara harafiah. Teks-teks Alkitab yang besifat perumpamaan, seperti perumpamaan-perumpamaan Tuhan Yesus, harus dilihat sebagai bentuk perumpamaan, suatu penggambaran mengenai kebenaran. Jadi tidak dapat ditafsirkan kata per kata. Harus dilihat maksud perumpamaan tersebut.
Demikian juga bila mencoba menafsirkan kitab-kitab yang bergaya sastra apokaliptik seperti kitab Wahyu. Kitab ini harus dipahami dan ditafsirkan sebagai suatu bentuk nubuatan. Karena mencakup peristiwa-peristiwa masa yang akan datang. Harus sangat berhati-hati dalam menafsirkan ayat-ayat dalam kitab ini. Sebab, fakta membuktikan bahwa ajaran-ajaran sesat kerap lahir dari penafsiran yang “semau gue” dari kitab Wahyu.
V. Analisa Konteks
Kata “konteks” berasal dari dua kata bahasa Latin yang berbunyi Con, yang berarti “bersama-sama/menjadi satu”, dan textus yang berarti “tersusun”. Jadi kata “konteks” disini dipakai untuk menunjukkan hubungan yang menyatukan bagian Alkitab yang ingin ditafsir dengan sebagian atau seluruh Alkitab. Salah satu contoh analisa konteks. Bila ingin menafsir Ibrani 1:1, maka kita harus menafsir ayat 2 juga, karena dalam terjemahan Alkitab LAI kalimat itu baru selesai pada ayat ke-2. Bahkan jikalau seorang penafsir menyelidiki Alkitab bahasa Yunani, rupanya kalimat itu baru selesai pada ayat ke-4. Bila seseorang kesulitan menafsir suatu ayat tertentu, maka ia perlu melihat konteks perikop ayat tersebut. Bila masih kurang jelas, ia perlu melihat konteks pasalnya, bahkan kalau perlu kitabnya.
Perhatikan contoh kesalahan yang sering dibuat. Ada orang yang mengkotbahkan bahwa istilah “singa dari Yehuda” adalah jemaat Tuhan. Padahal apabila diteliti dari konteks ayatnya (Wahyu 5:5), singa dari Yehuda menunjuk pada tunas Daud, yaitu Yesus Kristus Tuhan. Sangat tidak tepat bila menafsirkannya secara sepotong-sepotong.
VI. Analisa Arti Kata (Semantik/Lexicon)
Kata adalah unit terkecil dalam kalimat. Di dalam Filipi 4:3 tertera kata “Sunsugos”. Jika diselidiki artinya berarti “teman sepenanggung kuk” (terjemahan LAI: temanku yang setia). Jadi kata ini boleh dipakai untuk nama seorang teman Paulus atau secara artinya “temanku yang setia”. Kata “Kasih” yang tertulis dalam Alkitab LAI, sebenarnya bila diselidiki dari bahasa asli Alkitab, bahasa Yunani, kata itu ditulis dalam beberapa kata yang berbeda artinya, yaitu Agape, Phileo dan Eros. Ketiga kata tersebut mempunyai arti yang tidak sama. Agape menunjuk kepada kasih Allah, kasih yang berkorban tanpa pamrih. Phileo menunjuk pada kasih persaudaraan, sementara eros adalah ekspresi kasih kepada lawan jenis.
Secara umum di dalam menafsir Alkitab kita harus:
ü Berdoa memohon hikmat dan tuntunan Roh Kudus
ü Membaca bagian Alkitab tersebut berulang-ulang
ü Memakai alat-alat bantu, seperti konkordansi, terjemahan-terjamahan Alkitab, buku-buku penunjang, seperti buku mengenai sejarah Israel, Romawi, kota-kota Perjanjian Baru, buku tafsiran dan sebagainya.
Kesimpulan
Sangat disarankan agar setiap orang percaya yang ingin mengenal Tuhan lebih dalam, maupun hamba-hamba Tuhan yang ingin lebih baik lagi dalam berkotbah agar tidak merasa puas diri dengan keadaan masing-masing. Carilah pengetahuan yang lebih dalam lagi mengenai cara menafsirkan Alkitab yang benar melalui pendidikan Alkitabiah seperti Sekolah Orientasi Melayani (SOM), kursus-kursus Alkitab (bible course), maupun Institusi pendidikan Teologi berjenjang Sarjana Teologi dan sebagainya. Tuhan memberkati!
Penulis: Ps Bobby MTh
https://psbobby.wordpress.com/2008/04/24/bagaimana-menafsir-alkitab/
Koment Pembaca:
Koment Pembaca:
Apakah Deuterokanonika tidak termasuk dalam Alkitab?
Umat Kristian non-Katolik sering mengatakan bahwa kitab-kitab deuterokanonika disebut kitab-kitab Apokrif dan seharusnya tidak menjadi bagian dari Kitab Suci.
Berikut adalah beberapa prinsip yang Gereja Katolik pegang:
Umat Kristian non-Katolik sering mengatakan bahwa kitab-kitab deuterokanonika disebut kitab-kitab Apokrif dan seharusnya tidak menjadi bagian dari Kitab Suci.
Berikut adalah beberapa prinsip yang Gereja Katolik pegang:
1.Sebaiknya tidak menggunakan istilah “Apokrif”. Perkataan “Apokrif” atau apocrypha artinya adalah ‘tidak jelas asal usulnya’ yang berkonotasi dengan buku yang tidak diketahui pengarangnya atau buku yang keasliannya dipertanyakan. Namun secara umum, perkataan “apokrif” tadi diartikan sebagai sesuatu yang ‘tersembunyi, salah, buruk atau sesat’, sehingga sebaiknya kita tidak menggunakan kata “apokrif” kerana ertinya sama sekali bukan penghalusan kata “deuterokanonika”, tetapi malahan sebaliknya, sebab menganggap bahwa kitab- kitab ini tidak diinspirasikan oleh Roh Kudus.
Maka sebaiknya kita menggunakan saja kata “Deuterokanonika” yang terjemahan bebasnya adalah, “kanon yang kedua/ secondary”. Istilah ini dikenal pada abad ke-16, iaitu setelah Martin Luther dan para pengikutnya mulai membedakan antara ketujuh kitab dalam PL dengan kitab- kitab PL lainnya (yang mereka sebut sebagai proto-canon). Padahal, sudah sejak awal kitab- kitab Deuterokanonika termasuk dalam Septuagint, Iaitu Kitab Suci Perjanjian Lama yang ditulis di dalam bahasa Yunani, yang adalah Kitab Suci yang dipegang oleh Kristus dan para rasul.
Maka sebaiknya kita menggunakan saja kata “Deuterokanonika” yang terjemahan bebasnya adalah, “kanon yang kedua/ secondary”. Istilah ini dikenal pada abad ke-16, iaitu setelah Martin Luther dan para pengikutnya mulai membedakan antara ketujuh kitab dalam PL dengan kitab- kitab PL lainnya (yang mereka sebut sebagai proto-canon). Padahal, sudah sejak awal kitab- kitab Deuterokanonika termasuk dalam Septuagint, Iaitu Kitab Suci Perjanjian Lama yang ditulis di dalam bahasa Yunani, yang adalah Kitab Suci yang dipegang oleh Kristus dan para rasul.
2. Tidak seharusnya kita mengikuti hasil Konsili Javneh/ Jamnia
Setelah kehancuran Yerusalem di tahun 70, iaitu tepatnya tahun 90-an para ahli kitab Yahudi mengadakan konsili Jamnia (Javneh) untuk meninjau kanon Kitab Suci mereka, sambil juga menolak keberadaan Injil yang tidak mereka pandang sebagai tulisan yang diinspirasikan oleh Allah, kerana mereka menolak Kristus. Konsili ini akhirnya memutuskan untuk tidak memasukkan kitab- kitab Deuterokanonika di dalam Kitab agama Yahudi. Apa alasan persisnya kenapa disebut demikian memang tidak diketahui. Ada yang menyebutkan karena naskah asli dalam bahasa Ibraninya tidak diketemukan, namun yang ada hanya terjemahan bahasa Yunaninya, walaupun para Bapa Gereja pada jemaat Kristian awal tidak meragukan keaslian kitab-kitab ini. Walaupun sekarang umat Yahudi umumnya menerima hasil konsili Jamnia (Javneh) namun harus diakui bahwa tidak semua komunitas Yahudi menerima otoritas konsili Jamnia ini. Umat Yahudi di Ethiopia, misalnya, memilih kanon yang sama dengan kanon PL yang ditetapkan oleh Gereja Katolik, yang memasukkan kitab- kitab Deuterokanonika (cf. Encyclopedia Judaica, vol. 6, p. 1147). Demikian pula sebenarnya, Gereja tidak perlu menerima otoritas konsili Jamnia, sebab: 1) Konsili agama Yahudi yang dilakukan setelah Kristus bangkit, tidak mengikat umat Kristiani, sebab kuasa mengajar telah diberikan kepada para rasul dan para penerusnya, dan bukan kepada pemimpin agama yahudi; 2) Konsili Jamnia menolak semua dokumen yang malah menjadi dasar sumber iman Kristiani, iaitu Injil dan kitab- kitab Perjanjian Baru. 3) Dengan menolak kitab- kitab Deuterokanonika ini, konsili Jamnia menolak kitab- kitab yang dipegang oleh Yesus dan para rasul, yang telah termasuk di dalam Kitab Suci mereka iaitu Septuaginta. Adalah fakta bahwa 2/3 kutipan dalam kitab Perjanjian Baru sendiri diambil dari Septuagint dan bukan dari kitab berbahasa Ibrani. 3.Kitab-kitab yang termasuk Deuterokanonika
Setelah kehancuran Yerusalem di tahun 70, iaitu tepatnya tahun 90-an para ahli kitab Yahudi mengadakan konsili Jamnia (Javneh) untuk meninjau kanon Kitab Suci mereka, sambil juga menolak keberadaan Injil yang tidak mereka pandang sebagai tulisan yang diinspirasikan oleh Allah, kerana mereka menolak Kristus. Konsili ini akhirnya memutuskan untuk tidak memasukkan kitab- kitab Deuterokanonika di dalam Kitab agama Yahudi. Apa alasan persisnya kenapa disebut demikian memang tidak diketahui. Ada yang menyebutkan karena naskah asli dalam bahasa Ibraninya tidak diketemukan, namun yang ada hanya terjemahan bahasa Yunaninya, walaupun para Bapa Gereja pada jemaat Kristian awal tidak meragukan keaslian kitab-kitab ini. Walaupun sekarang umat Yahudi umumnya menerima hasil konsili Jamnia (Javneh) namun harus diakui bahwa tidak semua komunitas Yahudi menerima otoritas konsili Jamnia ini. Umat Yahudi di Ethiopia, misalnya, memilih kanon yang sama dengan kanon PL yang ditetapkan oleh Gereja Katolik, yang memasukkan kitab- kitab Deuterokanonika (cf. Encyclopedia Judaica, vol. 6, p. 1147). Demikian pula sebenarnya, Gereja tidak perlu menerima otoritas konsili Jamnia, sebab: 1) Konsili agama Yahudi yang dilakukan setelah Kristus bangkit, tidak mengikat umat Kristiani, sebab kuasa mengajar telah diberikan kepada para rasul dan para penerusnya, dan bukan kepada pemimpin agama yahudi; 2) Konsili Jamnia menolak semua dokumen yang malah menjadi dasar sumber iman Kristiani, iaitu Injil dan kitab- kitab Perjanjian Baru. 3) Dengan menolak kitab- kitab Deuterokanonika ini, konsili Jamnia menolak kitab- kitab yang dipegang oleh Yesus dan para rasul, yang telah termasuk di dalam Kitab Suci mereka iaitu Septuaginta. Adalah fakta bahwa 2/3 kutipan dalam kitab Perjanjian Baru sendiri diambil dari Septuagint dan bukan dari kitab berbahasa Ibrani. 3.Kitab-kitab yang termasuk Deuterokanonika
Kitab-kitab yang termasuk Deuterokanonika ini adalah:
Tobit
Yudit
Tambahan kitab Ester
Kebijaksanaan
Sirakh
Barukh, termasuk tambahan surat Yeremia
Tambahan kitab Daniel
1 Makabe
2 Makabe
Kitab-kitab tersebut sudah termasuk di dalam kanon Kitab Suci sesuai dengan yang ditetapkan oleh Paus Damasus I dalam sinode di Roma tahun 382 dan kemudian ditetapkan kembali pada Konsili Hippo (393) dan di Konsili Carthage (397). Jika kita membaca isi kitab Deuterokanonika tersebut tidak ada yang bertentangan dengan isi Alkitab yang lain, sehingga sesungguhnya tidak ada alasan untuk mengatakan bahwa kita-kitab tersebut ‘buruk’. Kitab tersebut malah memperjelas apa yang disampaikan dalam kitab Perjanjian Lama yang lain. Contohnya saja, di tambahan kitab Esther, ada uraian tentang mimpi Mordekai, surat penetapan Haman, doa Mordekai dan doa Esther, yang jika dibaca dalam kesatuan dengan Kitab Esther dalam kanon terdahulu dapat menjelaskan isi Kitab Esther secara lebih lengkap dan membuat ceritanya ‘make sense’. (Misalnya, di kitab terdahulu hanya disebut ada surat Haman, tetapi isi persisnya tidak dijabarkan, sedangkan di kitab tambahan Esther isi surat itu dijabarkan).
Yudit
Tambahan kitab Ester
Kebijaksanaan
Sirakh
Barukh, termasuk tambahan surat Yeremia
Tambahan kitab Daniel
1 Makabe
2 Makabe
Kitab-kitab tersebut sudah termasuk di dalam kanon Kitab Suci sesuai dengan yang ditetapkan oleh Paus Damasus I dalam sinode di Roma tahun 382 dan kemudian ditetapkan kembali pada Konsili Hippo (393) dan di Konsili Carthage (397). Jika kita membaca isi kitab Deuterokanonika tersebut tidak ada yang bertentangan dengan isi Alkitab yang lain, sehingga sesungguhnya tidak ada alasan untuk mengatakan bahwa kita-kitab tersebut ‘buruk’. Kitab tersebut malah memperjelas apa yang disampaikan dalam kitab Perjanjian Lama yang lain. Contohnya saja, di tambahan kitab Esther, ada uraian tentang mimpi Mordekai, surat penetapan Haman, doa Mordekai dan doa Esther, yang jika dibaca dalam kesatuan dengan Kitab Esther dalam kanon terdahulu dapat menjelaskan isi Kitab Esther secara lebih lengkap dan membuat ceritanya ‘make sense’. (Misalnya, di kitab terdahulu hanya disebut ada surat Haman, tetapi isi persisnya tidak dijabarkan, sedangkan di kitab tambahan Esther isi surat itu dijabarkan).
4. Mengapa Luther dan Calvin menolak Kitab- kitab Deuterokanonika
Kemungkinan Luther mencoret kitab Deuterokanonika terutama karena tidak setuju dengan isi Kitab 2 Makabe yang mengajarkan untuk berdoa bagi keselamatan jiwa orang-orang yang telah meninggal, sebab Luther berpendapat bahwa keselamatan diperoleh hanya karena iman (Sola Fide). Martin Luther juga menganggap beberapa kitab dalam Perjanjian Baru sebagai “kitab deuterokanonika”, seperti halnya surat rasul Yakobus – yang disebutnya sebagai “Epistle of straw/ surat jerami”, kitab Wahyu, dan surat Ibrani, karena kitab itu secara implisit mengutip kitab 2 Makabe 7, yaitu Ibr 11:35. Selanjutnya ada yang mengatakan bahwa gereja Protestan mencoret Kitab Deuterokanonika karena ingin mengikuti hasil konsili Jamnia, agar lebih sesuai dengan kitab asli dalam bahasa Ibrani yang diterima oleh umat Yahudi. Namun seperti telah dijabarkan di atas, sesungguhnya umat Kristian tidak perlu mengikuti hasil Konsili Jamnia. Kerana konsili itu menolak Kristus, menolak Injil dan Perjanjian Baru, bagaimana mungkin kita bisa mempercayai bahwa mereka mempunyai otoritas dari Roh Kudus untuk menentukan kanon Kitab Suci?
Walaupun Luther menolak kitab- kitab Deuterokanonika, namun setelah bertentangan sendiri dengan para tokoh Protestan lainnya, akhirnya Luther tetap memasukkan kitab- kitab tersebut dalam Kitab Perjanjian Baru. Luther dan para pengikutnya kemudian menyebut kitab- kitab Deuterokanonika sebagai kitab- kitab Apokrif (tidak diilhami Roh Kudus). Namun demikian, Luther tetap memasukkan kitab- kitab Deuterokanonika tersebut di dalam terjamahan Kitab Suci yang disusunnya, sebagai tambahan/ appendix antara Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Hal ini berlangsung terus sampai tahun 1827, saat the British and Foreign Bible Society mencoret atau membuang kitab- kitab Deuterokanonika dari kitab suci mereka.
Maka Kitab Suci versi Protestan yang ada sekarang, bukan saja tidak lengkap, jika dibandingkan dengan Kitab Suci dari Gereja Katolik, tetapi juga tidak lengkap jika dibandingkan dengan Kitab Suci yang umum mereka pakai selama sekitar 300 tahun (dari abad ke 16 sampai ke 19). Dan bahwa kitab suci Protestan sekarang ini usianya baru sekitar 150 tahun, dan ditetapkan oleh manusia, dan bukan oleh Tradisi turun temurun dari para rasul dan para Bapa Gereja. Tak dapat dipungkiri bahwa Luther menentukan sendiri kitab- kitab yang dianggapnya ‘lebih penting’ dari kitab- kitab yang lain berdasarkan pemahaman pribadinya; dan inilah yang kemudian mempengaruhi pandangan para pengikutnya. Sedangkan Gereja Katolik dalam menentukan kanon, tidak berdasarkan pemahaman pribadi melainkan dari bukti tertulis dari pengajaran para rasul dan Bapa Gereja, yang telah memasukkan kitab- kitab tersebut dalam tulisan mereka.
Maka Kitab Suci versi Protestan yang ada sekarang, bukan saja tidak lengkap, jika dibandingkan dengan Kitab Suci dari Gereja Katolik, tetapi juga tidak lengkap jika dibandingkan dengan Kitab Suci yang umum mereka pakai selama sekitar 300 tahun (dari abad ke 16 sampai ke 19). Dan bahwa kitab suci Protestan sekarang ini usianya baru sekitar 150 tahun, dan ditetapkan oleh manusia, dan bukan oleh Tradisi turun temurun dari para rasul dan para Bapa Gereja. Tak dapat dipungkiri bahwa Luther menentukan sendiri kitab- kitab yang dianggapnya ‘lebih penting’ dari kitab- kitab yang lain berdasarkan pemahaman pribadinya; dan inilah yang kemudian mempengaruhi pandangan para pengikutnya. Sedangkan Gereja Katolik dalam menentukan kanon, tidak berdasarkan pemahaman pribadi melainkan dari bukti tertulis dari pengajaran para rasul dan Bapa Gereja, yang telah memasukkan kitab- kitab tersebut dalam tulisan mereka.
Jadi yang benar adalah Gereja Katolik tidak pernah menambah-nambah Kitab Suci, sebab memang dari sejak awal ditetapkan sudah demikian. Yang terjadi adalah pengurangan oleh pihak pendiri gereja Protestan, yang akhirnya diturunkan kepada generasi-generasi berikut dalam bermacam denominasi. Alkitab bukan terdiri dari 66 buku tapi 73 buku.
Selayaknya kita percaya bahwa kuasa menentukan kanon Kitab Suci diberikan oleh Yesus kepada GerejaNya yang dipimpin oleh Rasul Petrus dan para rasulNya yang lain dan justru kerana otoritas/kuasa Kitab Suci yang begitu penting, tidaklah seharusnya semua orang dapat menentukan sendiri mana yang otentik, mana yang tidak. Kitab Suci diberikan kepada Gereja, dan Gereja-lah yang berhak menentukannya dan menginterpretasikannya secara otentik.
Alkitab bukanlah diturunkan dari langit dalam bentuk Alkitab yang kita kenal sekarang. Alkitab merupakan kumpulan buku-buku yang ditulis sepanjang 17 abad. Gereja Katolik, dengan kuasa Roh Kudus, menentukan buku-buku mana yang menjadi bagian dari kanon Alkitab yang kita kenal sampai saat ini. Gereja Katolik menentukan 46 buku Perjanjian Lama dan 27 buku Perjanjian Baru, sehingga ada 73 buku dalam Alkitab. Allah sendiri adalah penyebab Kitab Suci, dimana dengan ilham Roh Kudus, Allah memberi inspirasi kepada manusia atau sang penulis dari masing-masing buku. Masing-masing penulis dengan cara dan gaya bahasanya sendiri bekerja sama dengan ilham dari Roh Kudus, sehingga buku-buku yang dihasilkan adalah sesuai dengan ilham Roh Kudus sendiri. Kerana Gereja ada terlebih dahulu dibandingkan dengan Alkitab, dan Gereja yang menentukan buku-buku yang termasuk dalam Alkitab, maka Gereja jugalah yang mempunyai kuasa untuk menafsirkan Alkitab secara benar.
إرسال تعليق